Adat
Jawa
Upacara Adat Jawa - Sejarah Ruwatan
Suapan
Upacara Adat Jawa - Sejarah Ruwatan
Ruwatan
merupakan upacara adat Jawa yang
masih dilakukan sampai sekarang. Kegiatan ini merupakan salah satu ritual yang
dilakukan agar seseorang terbebas dari kesialan dan nasib buruk. Setelah
melakukan ritual ini, mereka percaya bahwa hidupnya akan lebih baik, sejahtera,
dan beruntung. Salah satu faktor kesialan itu adalah sakit-sakitan.
Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa.
Upacara adat Jawa ini sering dihubungkan dengan Bathara Kala. Bathara Kala
adalah putra Bathara Guru yang suka mengganggu manusia. Bahkan mitosnya, dewa
berbentuk raksasa ini suka “memangsa” manusia-manusia tertentu. Orang yang
“dimangsa” oleh Bathara Kala akan mengalami sukerta atau nasib sial sepanjang
hidupnya.
Memang
dalam mitosnya, Bathara Kala menggemari anak-anak dengan jumlah tertentu dalam
sebuah keluarga. Misalnya kedhono-kedhini, dua anak pertama laki-laki lalu dua
anak selanjutnya perempuan atau pandawa, lima anak laki-laki semua. Berikut
anak-anak lain yang menjadi kegemaran Bathara Kala menurut mitologi Jawa:
• Ontang-anting:
Anak tunggal berjenis laki-laki
• Unting-unting: Anak tunggal berjenis perempuan
• Gedhana-gedhini: Satu anak laki-laki dan memiliki adik satu anak perempuan
• Uger-uger Lawang: Dua anak laki-laki
• Kembar Sepasang: Dua anak perempuan
• Pendhawa Pancala Putri: Lima anak perempuan
• Kembar: Dua anak laki-laki atau perempuan
• Gotong Mayit: Tiga anak perempuan semua
• Cukil Dulit: Tiga anak laki-laki semua
• Serimpi: Empat anak perempuan semua
• Sarambah: Empat anak laki-laki semua
• Sendang Kaapit Pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah perempuan
• Pancuran Kaapit Sendang: Anak tiga, dua perempuan, yang tengah laki-laki
• Sumala: Anak cacat sejak lahir
• Wungle: Anak lahir dalam keadaan bule
• Margana: Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan
• Wahana: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta
• Wuyungan: Anak lahir dalam suasana perang atau sedang dilanda bencana
• Julung Sungsang: Anak lahir waktu tengah hari
• Julung Sarab: Anak lahir waktu matahari terbenam
• Julung Caplok: Anak lahir waktu senja hari
• Julung Kembang: Anak dilahirkan saat fajar
• Unting-unting: Anak tunggal berjenis perempuan
• Gedhana-gedhini: Satu anak laki-laki dan memiliki adik satu anak perempuan
• Uger-uger Lawang: Dua anak laki-laki
• Kembar Sepasang: Dua anak perempuan
• Pendhawa Pancala Putri: Lima anak perempuan
• Kembar: Dua anak laki-laki atau perempuan
• Gotong Mayit: Tiga anak perempuan semua
• Cukil Dulit: Tiga anak laki-laki semua
• Serimpi: Empat anak perempuan semua
• Sarambah: Empat anak laki-laki semua
• Sendang Kaapit Pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah perempuan
• Pancuran Kaapit Sendang: Anak tiga, dua perempuan, yang tengah laki-laki
• Sumala: Anak cacat sejak lahir
• Wungle: Anak lahir dalam keadaan bule
• Margana: Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan
• Wahana: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta
• Wuyungan: Anak lahir dalam suasana perang atau sedang dilanda bencana
• Julung Sungsang: Anak lahir waktu tengah hari
• Julung Sarab: Anak lahir waktu matahari terbenam
• Julung Caplok: Anak lahir waktu senja hari
• Julung Kembang: Anak dilahirkan saat fajar
Salah
satu jenis dalam upacara adat Jawa ini adalah Ruwatan
Murwakala. Upacara ini dilakukan dengan melakukan pagelaran wayang yang
memiliki lakon Murwakala. Ceritanya sederhana, orang-orang yang akan diruwat
ini hadir dalam upacara. Mereka nanti dalam ceritanya akan diruwat oleh
seseorang bernama Kandhabuwana.
Ruwatan ini dilakukan dengan “mengundang”
Bathara Kala dalam pagelaran wayang. Orang yang telah melakukan prosesi ini
dianggap sudah diruwat dan nanti terbebas dari kesialan. Sebelum melakukan
ruwatan memang ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Syarat ini harus
dipenuhi sebelum pagelaran wayang dilakukan. Berikut beberapa hal yang harus
dipenuhi dalam Ruwatan Murwakala dalam upacara adat Jawa:
· Para sukerto, orang yang
akan diruwat harus memakai pakaian serba putih bersih. Warna putih melambangkan
kesucian dan kebersihan diri.
· Orang tua dari para
sukerto harus memakai pakaian adat Jawa.
· Seorang dalang yang
sudah dianggap mampu melakukan ruwatan harus sudah siap dengan peralatan untuk
mementaskan lakon Murwakala. Peralatan ini meliputi panggung, seperangkat
wayang yang dibutuhkan, gamelan, penabuh, sinden, dan segala
perlengkapannya.
· Tempat untuk melakukan
ruwatan setidaknya cukup luas, dengan menyediakan bagian untuk tempat duduk
bagi sukerto dan orang tua. Juga disiapkan tempat untuk memandikan para
sukerto.
· Beberapa macam sesaji
yang disiapkan oleh sebelumnya.
Upacara Adat Jawa - Pelaksanaan Ruwatan
Para
sukerto diantarkan orang tua dan diserahkan kepada Dalang. Para sukerto ini
nantinya akan duduk di belakang kelir wayang dan harus memerhatikan
berlangsungnya pementasan, termasuk harus memperhatikan segala doa yang
diucapkan Ki Dalang. Dalang lalu mengambil tempat untuk memulai pagelaran
wayang dengan lakon Murwakala.
Murwakala sendiri dimulai dengan keresahan para
dewa di Jonggring Saloka. Mereka resah karena Bathara Kala memangsa para
manusia di muka bumi. Bathara Guru, sebagai ayah dari Bathara Kala, sangat
risau akan hal ini. Dia dibantu dengan Bathara Narada untuk menemukan
penyelesaian masalah ini. Akhirnya Bathara Kala disuruh menghadap.
Setelah terjadi silang pendapat, maka Bathara
Kala mengakui kemampuan Bathara Guru. Namun, dia tetap lapar. Bathara Guru
membolehkan memangsa para sukerto, namun ada syaratnya. Bathara Kala tidak
boleh memangsa orang yang di dadanya terdapat tulisan mantra Kalacakra dan di
kepalanya terdapat tulisan mantra Sastra Balik.
Bathara Kala yang masih kebingungan
dengan makna sukerto akhirnya menerima penjelasan dari ibunya, Bathari Uma atau
disebut juga dengan Bathari Durga. Durga akhirnya menjelaskan apa sukerto itu.
Sukerto merupakan anak yang dilihat berdasarkan waktu kelahiran, bisa dilihat
dari kategori yang dijelaskan sebelumnya. Bisa juga sukerto yang muncul karena
dia melakukan kesalahan yang melanggar tabu, misalnya seorang wanita yang
melangkahi gendhing. Kategori yang terakhir adalah sukerto yang muncul karena
dalam hidupnya banyak ditimpa kesialan dan bahaya.
Cerita
dalam upacara adat Jawa ini loncat di pedesaan muka bumi. Warga desa yang resah
dengan ulah Bathara Kala sepakat untuk menggunakan jasa Ki Dalang Kandhabuwana.
Kandhabuwana sendiri adalah penjelmaan Bathara Guru yang ingin melindungi
manusia dari ulah Bathara Kala. Dia menjelma beserta Bathara Narada dan Bethari
Durga dalam tim pewayangan. Mereka ini melakukan konsultasi sebelumnya dengan
Semar, kakak Bathara Guru yang menjelma sebagai pamong di bumi.
Ceritanya
berlanjut dengan perundingan warga desa dengan Kandhabuwana. Para sukerto harus
bersedia menjadi anak Kandhabuwana agar terhindar dari ulah Bathara Kala. Setelah
itu, Ki Dalang akan melakukan doa. Doa ini nanti harus diamini oleh orang tua
dan sukerto serta penonton pagelaran wayang.
Salah satu mantra yang diucapkan
adalah mengucapkan aksara hanacaraka dengan terbalik. Ada juga mantra Rajah
Kalacakra, bunyinya sebagai berikut: Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya;
Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya;
Yasihama- Mahasiya.
Mantra
ini berarti: “Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa
yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan,
mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan ,
harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu
jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang
berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong,
menjadi parasit, harus merobah sikap dengan menghormat dan kasih kepada
sesama.”
Selain
itu, Kandhabuwana juga menganjurkan untuk mebuat sesaji. Sesaji ini dibuat
sebagai wujud terima kasih kepada Gusti Sang Maha Pencipta. Bathara Kala
akhirnya tetap datang menyerang. Namun, Kandhabuwana mampu menaklukannya. Kala
yang telah dikalahkan diberi tahu oleh Kandhabuwana bahwa dia tidak boleh
memangsa sukerto yang ada di hadapannya sekarang ini. Ki Dalang mengucapkan
nama asli sukerto dan penyebabnya. Bathara Kala menyanggupi hal itu dan dia
diberi hukuman.
Upacara
adat Jawa ini berlanjut dengan Ki Dalang akan menyukur rambut sukerto dan
memandikannya. Kemudian, wayang yang memerankan sukerto juga dicelupkan kepada
air. Dalang lalu mengatakan bahwa sukerto telah hilang seiring dengan air yang
digunakan untuk memandikan. Semua anak buah Bathara Kala juga telah dikalahkan
oleh Bima.
Upacara
adat Jawa ini diakhiri dengan Kandhabuwana kembali wujud menjadi
Bathara Guru. Setelah memberi wejangan dan pamit kepada warga desa dan Kyai
Semar, dia kembali ke khayangan beserta Bathara Narada dan Bathari Durga.
Upacara adat Jawa ini selesai dan yang diruwat sudah tidak menjadi sukerto
lagi.
Siraman adalah upacara adat ritual warisan
nenek moyang kita yang mengandung banyak falsafah di dalamnya. Dalam tiap
langkah pada prosesi siraman dimaknakan agar para calon pengantin membersihkan
diri dan hati sehingga semakin mantap untuk melangsung pernikahan esok harinya.
Pada upacara yang lebih bersifat intern ini seluruh keluarga besar berkumpul,
berbagi suka, memberikan doa restu dan dukungan moral pada sang calon pengantin
untuk memasuki fase baru dalam kehidupannya.
Perlengkapan acara Siraman terdiri dari: Gayung
Siraman, untaian padi kuning keemasan yang menyertai gayung tersebut
melambangkan merunduk dan mengayomi keluarga. Bubur Sengkolo memiliki
arti sebagai penolak bencana sehingga semua dapat berjalan lancar; Selain itu
terdapat rebusan umbi umbian yang tumbuh dalam tanah (lebih dikenal dengan nama polo
pendem) dimaknakan agar rumah tangga yang nanti akan dibina oleh sang
pengantin akan mempunyai pondasi yang kuat.
Terdapat pula rangkaian buah kulit; Kendi air
siraman tempat air kucuran wudhu; Tumpeng Robyong yang
bermakna harapan akan keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan; Tumpeng untuk
acara suapan terakhir; serta tidak ketinggalan Kreweng, yaitu
uang dari tanah liat yang akan digunakan untuk membeli cendol dalam acara
"dodol dawet".
Air Siraman dan Pemasangan Bleketepe
Kegiatan diawali dengan menyiapkan air siraman yang berasal dari
7 sumber ke dalam gentong. Sumber air siraman biasanya diambil dari rumah
besan, rumah pini sepuh, dan rumah adat yang kemudian diaduk dengan campuran
bunga.
Sambil menunggu calon mempelai puteri bersiap-siap untuk
siraman, sang Ayah melakukan pemasangan bleketepe (anyaman daun kelapa) sebagai tarub pada
gerbang rumah. Pemasangan tarub dimaknakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada
hajat mantu di rumah yang bersangkutan.
Tata cara memasang tarub adalah sang Ayah menaiki tangga,
sementara Ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan bleketepe. Tatacara
ini menjadi perlambang gotong royong kedua orang tua yang menjadi pengayom
keluarga.
Sejarah mengenai kegiatan pemasangan tarub ini dimulai pada saat
Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram mempunyai hajat menikahkan
anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh
dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil
tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan
payon daun kelapa itu. Dengan diberi ’payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk
para tamu Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari
daun kelapa itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama
membuatnya.
Setelah selesai memasang tarub, kain penutup tuwuhan di
kedua sisi gerbang masuk di buka. Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada
anak yang dijodohkan agar dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan
sejarah keluarga.
Tuwuhan terdiri dari
:
Pohon pisang raja yang buahnya sudah
masak. Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah, diharapkan pasangan yang
akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang
raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak
mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
Tebu wulung berwarna merah. Dimaknakan
sebagai sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak.
Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki
jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu
bertindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan.
Cengkir Gadhing merupakan simbol dari
kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Daun randu dan Pari Sewuli
Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal
itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya. Godhong
apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin yang melambangkan
pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan
Jalannya Acara Siraman
Acara siraman diawali dengan sungkem calon pengantin kepada
orang tua untuk mohon doa restu. Setelah itu calon pengantin dibimbing ke
tempat siraman yang sudah disiapkan. Siraman dimulai
dari kedua orang tua pengantin diikuti oleh pini sepuh yang telah dipilih. Air
wudhu lalu dikucurkan oleh sang ayah dari kendi siraman. Kemudian kendi
dipecahkan oleh kedua orang tua sebagai tanda pecahlah pamor sang anak sebagai
wanita dewasa dan memancarlah sinar pesonanya.
Acara potong rambut, diikuti dengan
menggendong ananda ke dalam rumah melambangkan kasih sayang orang tua yang
senantiasa mengiringi anaknya sampai detik terakhir menjelang tahap baru
kehidupan sang anak.
Dodol Dawet
Sementara menunggu calon pengantin wanita berganti busana,
seluruh keluarga berkumpul menyiapkan tumpeng untuk acara suap-suapan di akhir
acara. Adik-adik tercinta lalu membagikan uang kreweng untuk
digunakan pada acara jual cendol (dodol dawet).
Makna dodol dawet diambil dari cendol yang berbentuk bundar,
diartikan sebagai lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan
anaknya. Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengankreweng (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal
itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi.
Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima
pembayaran adalah ayah. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan
menikah tentang bagaimana mencari nafkah, bahwa sebagai suami istri harus
saling membantu. Dibalik itu ada juga makna jenaka dari acara ini, yaitu
simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang
datang akan sebanyak dan seramai jualan cendol/dawet tersebut!
Tanam Rambut dan Pelepasan Ayam
Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan tanam rikmo/rambut oleh
orang tua. Yang ditanam adalah potongan rambut kedua calon mempelai, dilakukan
setelah wakil keluarga calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon
pengantin pria dengan membawa potongan rambut.
Pelepasan Ayam Jantan hitam merupakan prosesi
selanjutnya yang berarti bahwa orang tua sudah dengan sepenuh hati ikhlas
melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan Ayam yang begitu dilepas sudah
dapat mencari/mengais makanan sendiri, diharapkan untuk ke depannya sang anak
dapat hidup mandiri, memperoleh rejeki yang luas dan barokah.
Suapan
Di penghujung acara, calon pengantin wanita yang telah berganti
busana menerima uang kreweng hasil penjualan dodol dari Ibunda. Melambangkan
pengajaran sang Ibu tentang bagaimana hidup mandiri dan mengatur nafkah pada
kehidupan perkawinan. Suapan terakhir dan cium sayang dari kedua orang tua
mengakhiri rangkaian acara siraman adat Jawa ini.