Trollface / Problem? / Coolface  - Rage Face Comics
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tulisan Ilmu Sosial Dasar Bagian Kedua

Adat Jawa

Upacara Adat Jawa - Sejarah Ruwatan

            Ruwatan merupakan upacara adat Jawa yang masih dilakukan sampai sekarang. Kegiatan ini merupakan salah satu ritual yang dilakukan agar seseorang terbebas dari kesialan dan nasib buruk. Setelah melakukan ritual ini, mereka percaya bahwa hidupnya akan lebih baik, sejahtera, dan beruntung. Salah satu faktor kesialan itu adalah sakit-sakitan.
            Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa. Upacara adat Jawa ini sering dihubungkan dengan Bathara Kala. Bathara Kala adalah putra Bathara Guru yang suka mengganggu manusia. Bahkan mitosnya, dewa berbentuk raksasa ini suka “memangsa” manusia-manusia tertentu. Orang yang “dimangsa” oleh Bathara Kala akan mengalami sukerta atau nasib sial sepanjang hidupnya. 
Memang dalam mitosnya, Bathara Kala menggemari anak-anak dengan jumlah tertentu dalam sebuah keluarga. Misalnya kedhono-kedhini, dua anak pertama laki-laki lalu dua anak selanjutnya perempuan atau pandawa, lima anak laki-laki semua. Berikut anak-anak lain yang menjadi kegemaran Bathara Kala menurut mitologi Jawa:

•   Ontang-anting: Anak tunggal berjenis laki-laki
•   Unting-unting: Anak tunggal berjenis perempuan
•   Gedhana-gedhini: Satu anak laki-laki dan memiliki adik satu anak perempuan
•   Uger-uger Lawang: Dua anak laki-laki
•   Kembar Sepasang: Dua anak perempuan
•   Pendhawa Pancala Putri: Lima anak perempuan
•   Kembar: Dua anak laki-laki atau perempuan
•   Gotong Mayit: Tiga anak perempuan semua
•   Cukil Dulit: Tiga anak laki-laki semua
•   Serimpi: Empat anak perempuan semua
•   Sarambah: Empat anak laki-laki semua
•   Sendang Kaapit Pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah perempuan
•   Pancuran Kaapit Sendang: Anak tiga, dua perempuan, yang tengah laki-laki
•   Sumala: Anak cacat sejak lahir
•   Wungle: Anak lahir dalam keadaan bule
•   Margana: Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan
•   Wahana: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta
•   Wuyungan: Anak lahir dalam suasana perang atau sedang dilanda bencana
•   Julung Sungsang: Anak lahir waktu tengah hari
•   Julung Sarab: Anak lahir waktu matahari terbenam
•   Julung Caplok: Anak lahir waktu senja hari
•   Julung Kembang: Anak dilahirkan saat fajar
             Salah satu jenis dalam upacara adat Jawa ini adalah Ruwatan Murwakala. Upacara ini dilakukan dengan melakukan pagelaran wayang yang memiliki lakon Murwakala. Ceritanya sederhana, orang-orang yang akan diruwat ini hadir dalam upacara. Mereka nanti dalam ceritanya akan diruwat oleh seseorang bernama Kandhabuwana.
              Ruwatan ini dilakukan dengan “mengundang” Bathara Kala dalam pagelaran wayang. Orang yang telah melakukan prosesi ini dianggap sudah diruwat dan nanti terbebas dari kesialan. Sebelum melakukan ruwatan memang ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Syarat ini harus dipenuhi sebelum pagelaran wayang dilakukan. Berikut beberapa hal yang harus dipenuhi dalam Ruwatan Murwakala dalam upacara adat Jawa:

·      Para sukerto, orang yang akan diruwat harus memakai pakaian serba putih bersih. Warna putih melambangkan kesucian dan kebersihan diri.
·      Orang tua dari para sukerto harus memakai pakaian adat Jawa.
·      Seorang dalang yang sudah dianggap mampu melakukan ruwatan harus sudah siap dengan peralatan untuk mementaskan lakon Murwakala. Peralatan ini meliputi panggung, seperangkat wayang yang dibutuhkan, gamelan, penabuh, sinden, dan segala perlengkapannya. 
·      Tempat untuk melakukan ruwatan setidaknya cukup luas, dengan menyediakan bagian untuk tempat duduk bagi sukerto dan orang tua. Juga disiapkan tempat untuk memandikan para sukerto.
·      Beberapa macam sesaji yang disiapkan oleh sebelumnya.
Upacara Adat Jawa - Pelaksanaan Ruwatan
            Para sukerto diantarkan orang tua dan diserahkan kepada Dalang. Para sukerto ini nantinya akan duduk di belakang kelir wayang dan harus memerhatikan berlangsungnya pementasan, termasuk harus memperhatikan segala doa yang diucapkan Ki Dalang. Dalang lalu mengambil tempat untuk memulai pagelaran wayang dengan lakon Murwakala.
Murwakala sendiri dimulai dengan keresahan para dewa di Jonggring Saloka. Mereka resah karena Bathara Kala memangsa para manusia di muka bumi. Bathara Guru, sebagai ayah dari Bathara Kala, sangat risau akan hal ini. Dia dibantu dengan Bathara Narada untuk menemukan penyelesaian masalah ini. Akhirnya Bathara Kala disuruh menghadap.
Setelah terjadi silang pendapat, maka Bathara Kala mengakui kemampuan Bathara Guru. Namun, dia tetap lapar. Bathara Guru membolehkan memangsa para sukerto, namun ada syaratnya. Bathara Kala tidak boleh memangsa orang yang di dadanya terdapat tulisan mantra Kalacakra dan di kepalanya terdapat tulisan mantra Sastra Balik.
Bathara Kala yang masih kebingungan dengan makna sukerto akhirnya menerima penjelasan dari ibunya, Bathari Uma atau disebut juga dengan Bathari Durga. Durga akhirnya menjelaskan apa sukerto itu. Sukerto merupakan anak yang dilihat berdasarkan waktu kelahiran, bisa dilihat dari kategori yang dijelaskan sebelumnya. Bisa juga sukerto yang muncul karena dia melakukan kesalahan yang melanggar tabu, misalnya seorang wanita yang melangkahi gendhing. Kategori yang terakhir adalah sukerto yang muncul karena dalam hidupnya banyak ditimpa kesialan dan bahaya.
Cerita dalam upacara adat Jawa ini loncat di pedesaan muka bumi. Warga desa yang resah dengan ulah Bathara Kala sepakat untuk menggunakan jasa Ki Dalang Kandhabuwana. Kandhabuwana sendiri adalah penjelmaan Bathara Guru yang ingin melindungi manusia dari ulah Bathara Kala. Dia menjelma beserta Bathara Narada dan Bethari Durga dalam tim pewayangan. Mereka ini melakukan konsultasi sebelumnya dengan Semar, kakak Bathara Guru yang menjelma sebagai pamong di bumi.
Ceritanya berlanjut dengan perundingan warga desa dengan Kandhabuwana. Para sukerto harus bersedia menjadi anak Kandhabuwana agar terhindar dari ulah Bathara Kala. Setelah itu, Ki Dalang akan melakukan doa. Doa ini nanti harus diamini oleh orang tua dan sukerto serta penonton pagelaran wayang.
Salah satu mantra yang diucapkan adalah mengucapkan aksara hanacaraka dengan terbalik. Ada juga mantra Rajah Kalacakra, bunyinya sebagai berikut: Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya; Yasihama- Mahasiya.
Mantra ini berarti: “Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan, mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan , harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong, menjadi parasit, harus merobah sikap  dengan menghormat dan kasih kepada sesama.”
Selain itu, Kandhabuwana juga menganjurkan untuk mebuat sesaji. Sesaji ini dibuat sebagai wujud terima kasih kepada Gusti Sang Maha Pencipta. Bathara Kala akhirnya tetap datang menyerang. Namun, Kandhabuwana mampu menaklukannya. Kala yang telah dikalahkan diberi tahu oleh Kandhabuwana bahwa dia tidak boleh memangsa sukerto yang ada di hadapannya sekarang ini. Ki Dalang mengucapkan nama asli sukerto dan penyebabnya. Bathara Kala menyanggupi hal itu dan dia diberi hukuman.
Upacara adat Jawa ini berlanjut dengan Ki Dalang akan menyukur rambut sukerto dan memandikannya. Kemudian, wayang yang memerankan sukerto juga dicelupkan kepada air. Dalang lalu mengatakan bahwa sukerto telah hilang seiring dengan air yang digunakan untuk memandikan. Semua anak buah Bathara Kala juga telah dikalahkan oleh Bima.
Upacara adat Jawa ini diakhiri dengan Kandhabuwana kembali wujud menjadi Bathara Guru. Setelah memberi wejangan dan pamit kepada warga desa dan Kyai Semar, dia kembali ke khayangan beserta Bathara Narada dan Bathari Durga. Upacara adat Jawa ini selesai dan yang diruwat sudah tidak menjadi sukerto lagi.
Siraman adalah upacara adat ritual warisan nenek moyang kita yang mengandung banyak falsafah di dalamnya. Dalam tiap langkah pada prosesi siraman dimaknakan agar para calon pengantin membersihkan diri dan hati sehingga semakin mantap untuk melangsung pernikahan esok harinya. Pada upacara yang lebih bersifat intern ini seluruh keluarga besar berkumpul, berbagi suka, memberikan doa restu dan dukungan moral pada sang calon pengantin untuk memasuki fase baru dalam kehidupannya.
            Perlengkapan acara Siraman terdiri dari: Gayung Siraman, untaian padi kuning keemasan yang menyertai gayung tersebut melambangkan merunduk dan mengayomi keluarga. Bubur Sengkolo memiliki arti sebagai penolak bencana sehingga semua dapat berjalan lancar; Selain itu terdapat rebusan umbi umbian yang tumbuh dalam tanah (lebih dikenal dengan nama polo pendem) dimaknakan agar rumah tangga yang nanti akan dibina oleh sang pengantin akan mempunyai pondasi yang kuat.
Terdapat pula rangkaian buah kulit; Kendi air siraman tempat air kucuran wudhu; Tumpeng Robyong yang bermakna harapan akan keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan; Tumpeng untuk acara suapan terakhir; serta tidak ketinggalan Kreweng, yaitu uang dari tanah liat yang akan digunakan untuk membeli cendol dalam acara "dodol dawet".
       

Air Siraman dan Pemasangan Bleketepe

            Kegiatan diawali dengan menyiapkan air siraman yang berasal dari 7 sumber ke dalam gentong. Sumber air siraman biasanya diambil dari rumah besan, rumah pini sepuh, dan rumah adat yang kemudian diaduk dengan campuran bunga.
            Sambil menunggu calon mempelai puteri bersiap-siap untuk siraman, sang Ayah melakukan pemasangan bleketepe (anyaman daun kelapa) sebagai tarub pada gerbang rumah. Pemasangan tarub dimaknakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada hajat mantu di rumah yang bersangkutan.
Tata cara memasang tarub adalah sang Ayah menaiki tangga, sementara Ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan bleketepe. Tatacara ini menjadi perlambang gotong royong kedua orang tua yang menjadi pengayom keluarga.
            Sejarah mengenai kegiatan pemasangan tarub ini dimulai pada saat Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan payon daun kelapa itu. Dengan diberi ’payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk para tamu Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari daun kelapa itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama membuatnya.
            Setelah selesai memasang tarub, kain penutup tuwuhan di kedua sisi gerbang masuk di buka. Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang dijodohkan agar dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga.

Tuwuhan terdiri dari :

            Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah, diharapkan pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
            Tebu wulung berwarna merah. Dimaknakan sebagai sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan.
           Cengkir Gadhing merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Daun randu dan Pari Sewuli Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya. Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan


Jalannya Acara Siraman

             Acara siraman diawali dengan sungkem calon pengantin kepada orang tua untuk mohon doa restu. Setelah itu calon pengantin dibimbing ke tempat siraman yang sudah disiapkan. Siraman dimulai dari kedua orang tua pengantin diikuti oleh pini sepuh yang telah dipilih. Air wudhu lalu dikucurkan oleh sang ayah dari kendi siraman. Kemudian kendi dipecahkan oleh kedua orang tua sebagai tanda pecahlah pamor sang anak sebagai wanita dewasa dan memancarlah sinar pesonanya.
             Acara potong rambut, diikuti dengan menggendong ananda ke dalam rumah melambangkan kasih sayang orang tua yang senantiasa mengiringi anaknya sampai detik terakhir menjelang tahap baru kehidupan sang anak.

Dodol Dawet

            Sementara menunggu calon pengantin wanita berganti busana, seluruh keluarga berkumpul menyiapkan tumpeng untuk acara suap-suapan di akhir acara. Adik-adik tercinta lalu membagikan uang kreweng untuk digunakan pada acara jual cendol (dodol dawet).
            Makna dodol dawet diambil dari cendol yang berbentuk bundar, diartikan sebagai lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anaknya. Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengankreweng (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi.
            Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima pembayaran adalah ayah. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah, bahwa sebagai suami istri harus saling membantu. Dibalik itu ada juga makna jenaka dari acara ini, yaitu simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang datang akan sebanyak dan seramai jualan cendol/dawet tersebut!


Tanam Rambut dan Pelepasan Ayam

             Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan tanam rikmo/rambut oleh orang tua. Yang ditanam adalah potongan rambut kedua calon mempelai, dilakukan setelah wakil keluarga calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon pengantin pria dengan membawa potongan rambut.
             Pelepasan Ayam Jantan hitam merupakan prosesi selanjutnya yang berarti bahwa orang tua sudah dengan sepenuh hati ikhlas melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan Ayam yang begitu dilepas sudah dapat mencari/mengais makanan sendiri, diharapkan untuk ke depannya sang anak dapat hidup mandiri, memperoleh rejeki yang luas dan barokah.


Suapan
              Di penghujung acara, calon pengantin wanita yang telah berganti busana menerima uang kreweng hasil penjualan dodol dari Ibunda. Melambangkan pengajaran sang Ibu tentang bagaimana hidup mandiri dan mengatur nafkah pada kehidupan perkawinan. Suapan terakhir dan cium sayang dari kedua orang tua mengakhiri rangkaian acara siraman adat Jawa ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar